Oleh : Randhu Oktora alias Edho B 1450 BAE
Laut adalah sumber ekosistem yang ada. Bahkan, menjadi sumber mata pencaharian manusia dilingkupnya. Kepentingan dari segalanya pun tak lepas dari semua itu. Selain sebagai sarana transportasi, laut juga diisi dengan pro kontra bagi masyarakat.
Indonesia adalah negara maritim, 70 persen dari hamparannya adalah lautan sementara 30 persennya adalah daratan, memiliki lebih dari 17.000 pulau, dengan garis pantai lebih dari 99.000 km. Wilayah laut Indonesia yang luas membuat Indonesia menjadi negara yang memiliki potensi besar di bidang kelautan.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, merupakan provinsi ke 31 yang dibentuk sejak 23 tahun lalu, atau sekitar tahun 2000. Sumber daya manusianya adalah timah, dan sebagaian besar ada juga yang bercocok tanam atau berkebun.
Timah menjadi ikon dari provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Bahkan sejak zaman kolonial, pasir timah menjadi mata pencaharian masyarakat pribumi dengan pengerjaan manual hingga saat ini menggunakan mesin dan alat berteknologi.
Pasir timah yang sejak zaman itu dicari di daratan dengan sistam tambang, kurang lebih 10 tahun belakang diisi oleh tambang-tambang laut. Ribuan orang berkecimpung didalamnya.
Sektor kelautan di Bangka Belitung memang sungguh menarik jika ditelaah. Teluk Kelabat Dalam, letaknya diutara pulau Bangka tepatnya di Kecamatan Belinyu, menjadi pemisah antara 2 daerah yaitu Kabupaten Bangka dan Kabupaten Bangka Barat. Berbagai kepentingan ada didalamnya.
Penulis, merupakan warga dari Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka kerap juga mendengar keluh kesah dari kisah di Teluk Kelabat Dalam. Tambang laut yang ada sejak beberapa tahun silam di Teluk Kelabat Dalam ini, membuat berbagai macam kisah yang mungkin tak cukup segelas kopi untuk dibincangkan.
Nelayan menjadi profesi yang tak luput dari hasil tangkapan ikan, sangat bergantung di Teluk Kelabat yang luasnya mungkin tidak bisa disebutkan oleh penulis. Menangkap udang, cumi hingga ikan yang segar untuk dijual seakan memang sudah menjadi mata pencaharian sehari-hari.
Sementara, penambang laut yang mengais rezeki di perairan Teluk Kelabat Dalam seakan tak kalah menarik dengan nelayan. Mereka berlomba diatas rumpon (bahasa resmi) yang didesign menggunakan drum plastik dan kayu serta diisi dengan mesin penyedot pasir untuk menjadi pasir timah, disebut ponton oleh bahasa trendnya. Mereka juga tak luput sebagai pencari Rupiah demi kebutuhan sehari-hari. Notabane mereka, adalah pendatang dan sebagian besar masyarakat Kecamatan Belinyu.
Kedua pihak itu, tak sedikit pro dan kontra yang terjadi. Nelayan yang merasa terimbas dari penambangan laut merasa suara mereka tidak diperhatikan lagi. Sementara penambang, yang merasa memberikan kontribusi ke masyarakat merasa mereka juga berhak mencicipi hasil bumi ini.
Tak sedikit suara nelayan disuarakan ke beberapa media di Bangka Belitung. Penambang pun sama demikian.
Peran aparat serta pemerintah pun saat ini mungkin dibutuhkan. Hanya karena segelintir kepentingan mungkin bisa saja membelah persaudaraan dua belah pihak. Mereka bersama di laut, menyambung hidup dan mencari sesuap nasi.
Bahkan saja, tak luput perselisihan dari dua belah pihak terjadi. Meski berujung mediasi bersama pihak penegak hukum. Kendati begitu, sejumlah nama sudah pernah terseret ke ranah hukum dari cerita Teluk Kelabat Dalam.
Hasil tangkap ikan dari nelayan yang masih cukup ada serta hasil pasir timah yang masih melimpah, membuat kedua pihak mempertahankan hak dari mereka. Uniknya, bahkan kedua belah pihak ada juga yang menjalin hubungan harmonis.
Nelayan yang pulang mendapatkan ikan, hasilnya dibeli juga oleh penambang. Mereka tampak akrab, meski dijerat konflik oleh pihak yang tidak setuju dengan adanya penambangan laut.
Selain dari itu, ada pula istilahnya penyanting ataupun istilahnya ‘Ngereman’. Dengan istilah, yaitu pemungut hasil produksi timah, yang dibagikan kepada mereka yang datang ke setiap ponton dengan membawa mangkuk berukuran kecil dan gelas plastik. Mereka sebagaian besarnya juga merupakan warga pribumi Kecamatan Belinyu dan ada juga yang pendatang.
Ceritanya cukup menarik jika penulis, mencantumkan nama atau orang-orang yang bergantung hidup di Teluk Kelabat Dalam. Status mereka yang memungut hasil timah atau penyanting itu berbagai macam. Diantaranya bujangan, duda, perempuan, wanita beranjak gede, janda tua bahkan ada juga yang beristilah janda pirang pada trend bahasa saat ini.
Mereka cukup aktif dalam hal mencari Rupiah dengan awalnya dari hasil pasir timah yang kemudian dijual kepada kolektor ataupun pengepul pasir timah.
Tidak hanya itu saja, sekelompok orang yang berjualan makanan, menggunakan perahu juga tak kalah pentingnya. Mereka menjajakan makanan siap saji berkeliling di perairan Teluk Kelabat Dalam tak luput menikmati hasil dari Teluk Kelabat Dalam.
Mungkin, ini adalah masa dimana Teluk Kelabat Dalam masih memberikan hasil bumi yang cukup melimpah. Dan itu adalah anugerah Tuhan saat ini, dan tidak bisa dihitung waktunya sampai kapan.
Batu dinding, Berok, Mengkubung, Pulau Dante, Pulau Padi, Sunur hingga Semulut merupakan perairan yang kerap dibicarakan. Bahkan, penegakan hukum dari aparat dengan alasan ilegal tak luput dari semua itu.
Yaa, semoga saja, semuanya akan baik-baik saja. Dan menjadi sisi positif bagi masyarakat yang bergantung hidup disitu. Bahkan mungkin, menjadi pemulihan ekonomi bagi masyarakat Kabupaten Bangka. Aparat, pemerintah hingga pengusaha yang berkepentingan diharapkan dapat berkolaborasi dalam menjaga situasi supaya semua dalam keadaan baik-baik saja. Atau non gejolak.