PWI Babel Angkat Bicara Soal Dugaan Intimidasi Terhadap Wartawan di Transmart Pangkalpinang

Pangkalpinang1253 Dilihat
banner 468x60

PANGKALPINANG — Ketua PWI Bangka Belitung Muhammad Faturakhman angkat bicara soal dugaan intimidasi kepada wartawan yang dilakukan petugas pengamanan Transmart kepada wartawan yang hendak meliput kejadian ambruknya plafon di lokasi kejadian.

Menurut pria yang kerap disapa Boy itu mengatakan, kehadiran para jurnalis di Transmart adalah memenuhi hak publik guna memperoleh informasi.

” Menghalangi wartawan atau jurnalis pada saat menjalankan tugasnya dapat dipidana. Bagi seseorang yang dengan sengaja menghalangi wartawan menjalankan tugasnya dalam mencari, memperoleh dan menyebarluaskan informasi dapat dikenakan pidana sebagaimana di atur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers,” kata Boy, melalui keterangan resminya di WAg PWI Babel, Senin (19/06).

Dilanjutkan Boy, menghalangi tugas wartawan dengan ketentuan pasal yang sudah ditetapkan, dapat dikenakan pidana bahkan denda hingga Ratusan Juta Rupiah.

” Dengan demikian, seseorang yang dengan sengaja menghambat dan menghalangi tugas wartawan otomatis melanggar ketentuan pasal tersebut dapat diancam pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak 500 juta rupiah,” kata dia.

Maka dari itu, Boy meminta supaya kasus ini diusut secara tuntas, karena kata dia hal ini dianggap sudah merampas kemerdekaan pers.

” Sikap arogansi semacam ini tidak dibenarkan karena sama saja mengangkangi dan merampas kemerdekaan pers. Untuk itu kami minta agar kasus ini diusut tuntas,” tegasnya.

Sementara, Wakil ketua bidang Advokasi dan Pembelaan Wartawan PWI Babel, Anthoni Ramli menyayangkan sikap arogansi manajemen Transmart. Kata Anthoni, manajemen Transmart harusnya tidak alergi dan welcome kepada awak media.

Pasalnya kata Anthoni, kedatangan para jurnalis membawa tugas mulia yakni memberikan ruang seluas luasnya bagi manajemen untuk meluruskan mengklarifikasi insiden ambruknya plafon yang sempat viral tersebut.

” Harusnya manajemen Transmart tidak alergi dan justru berterimakasih kepada kawan kawan media. Karena mereka datang membawa misi dan tugas mulia memberikan ruang dan akses seluas luasnya untuk manajemen menyampaikan insiden sebenarnya supaya informasinya tidak simpang siur. Jadi harunya diapresiasi bukan malah sebaliknya,” kata Anthoni.

Dugaan intimidasi kepada wartawan itu dialami oleh 3 jurnalis yang hendak meliput ambruknya plafon di salah satu lantai di Transmart Pangkalpinang. Bahkan, pihak keamanan setempat meminta kepada wartawan untuk menghapus segala dokumentasi di lokasi kejadian. Atas kejadian itu pun, mereka (wartawan) melaporkan tindakan itu ke pihak Kepolisian, karena dianggap menghalangi tugas pers.

Ketiga jurnalis yang mendapat intimidasi itu yakni Eji Andino Dika (TVRI), Rama Nuasa (HeloBerita) dan Arya Ramandanu (Laspela). Peristiwa itu terjadi pukul 13.38 WIB. Berawal ketiga jurnalis mendapat informasi ada peristiwa plafon transmart ambruk.

“Kami bertiga dapat informasi ada plafon ambruk akibat jebolnya saluran air di transmart lantai atas. Kedua rekan saya Eji dan Rama sudah sampai duluan,” kata Arya saat dikonfirmasi, Senin sore di Mapolresta Pangkalpinang.

Menurutnya, kedua rekannya masuk berbareng dengan pihak Kepolisian Polsek Gerunggang, Pangkalpinang. Arya pun berinisiatif meminta izin untuk masuk ke satpam transmart tersebut.

” Saya datang telat. Lalu saya minta izin ke satpam untuk ambil gambar ke areal dalam atau lokasi ambruknya plafon, namun tidak di kasih. Saya disuruh nunggu di lobi,” bebernya.

Setelah menunggu di lobi, tak berselang lama kedua rekannya (Eji dan Rama) keluar didampingi satpam. Diduga disuruh keluar pihak satpam.

Sementara Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia atau IJTI Pengda Babel Joko Setyawanto yang turut mendampingi pelaporan itu menjelaskan, kejadian menghalangi kerja-kerja jurnalistik seperti ini seharusnya tidak terjadi lagi di tengah era digital ini. Apalagi dilakukan oleh perusahaan besar yang outletnya tersebat diseluruh Indonesia.

” Kok primitif sekali pola, segala sesuatu harus dengan kekerasan, intimidasi, atau persekusi. apa hanya karena ada aturan perusahaan terus bisa mengangkangi aturan negara?. Kerja jurnalistik ada koridornya, ada payung hukumnya berupa UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Sebetulnya kami prihatin atas nasib pion-pion yang cuma menjalankan tugas ini, tapi apakah tidak pernah belajar dari banyak peristiwa serupa yang pernah terjadi. Harusnya kan bisa jadi pembelajaran, ada aturan yang lebih tinggi dari aturan perusahaan, yaitu aturan negara berupa konstitusi Undang-Undang.”kata Joko.

Dilanjutkan Joko, pihaknya berharap agar kepolisian dapat menyelesaikan perkara ini agar tidak menjadi preseden buruk bagi kemerdekaan pers di tanah air. (Edho)

*Sumber : PWI Bangka Belitung

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *