Oleh : Randhu Oktora/Edho B 1450BAE
BELINYU, 09 Maret 2024.
” Malam ini, hujan rintik turun membasahi sedikit demi sedikit bumi ini. Dan itu, mungkin seusai dia menyaksikan aku dalam kecewa,” ucapku dalam hati, sembari duduk menyendiri.
***
Aku tidak pernah dendam, tidak pernah pula membenci. Akan tetapi bisa menjadi sosok yang kecewa.
Saya sudah menuai ketulusan, memberikan ruang. Bahkan sekalipun mengizinkan luka utk singgah dihati.
Aku sudah menerima, segala karma, tuaian kebencian, caci maki, hinaan dan entah itu benar atau tidak dari orang-orang yang saya anggap baik, bahkan lebih baik dari Nabi dan Peri. Bahkan sekalipun hukum alam, sudah saya terima.
Aku terlahir dari rahim Ibu, yang saat ini usianyapun melebihi setengah abad. Dan kini masih hidup disisa-sisa perubahan dunia dan bertambahnya usia ku.
Aku sudah menerima, sudah pula mempertahankan apapun itu yang akan saya raih untuk jalan hidup. Membina apa yang seharusnya saya lakukan, selayaknya takdir hidup.
Mengizinkan waktu berlalu, mengizinkan luka yang menganga kembali sehingga bisa dirajut kembali pun sudah pernah aku lakukan. Dan itu kata takdir, adalah hal yang konyol. Tapi kata aku, itu adalah cerita hidup ku.
Satu persatu mereka diantara pengisi hidupku bahkan pergi, sebagian darinya pun tak sempat mengucapkan kata maaf.
Aku sudah menjadi perantara cinta, menjadi sandaran yang pada akhirnya tumbang oleh kerasnya hati dan perilaku manusia yang paling benar di dunia ini.
Sesaat saja, bolehkah isi hati ini ku tuangkan sedikit dalam ketikan ini. Jika dipertemukan lagi oleh masa kecil, kata diri ini, tak mengurungkan niat untuk kembali ke masa itu.
Mendambakan, membanggakan kehebatan seseorang pun sudah kerap ku lakukan, meski itu tak sebanding dengan materi dan sebongkah berlian.
Namun semua itu, tak seperti layaknya melempar batu bata untuk mendapatkan batu giok. Melainkan hanya cercaan, cacian dan rasa terima kasih pun tidak ada dari orang yang sudah ku selamatkan dari terpuruknya jalan hidup.
Tuhan, izinkan aku memuliakan dendam ini. Memuliakan benci ini, dan memuliakan rasa kecewa ini. Atas mereka yang pernah ku selamatkan, atas seseorang yang pernah ku puja. Selamatkan mereka dari alam yang adil ini.
Jika memang aku tak punya ketulusan, dan bahkan sebagai orang yang biadab, maka aku meminta kepadaMu, hukum alam yang terindah dan menjadi pelajaran hidup ini.
Tahukah cinta, hanya ada di alam kehidupan? Namun dia, tak akan pernah berkhianat dalam jerih payah, doa hingga perjuangan.
Maka dari itu, jika waktu mengizinkan, pertemukan aku dengan luka itu lagi? Atau dengan si pembuat luka yang membuat aku menjadi kecewa tak berarah.
Hujan pun turun malam ini, entah itu dia bersedih menyaksikan aku pada malam ini, atau menetes pada musimnya juga.
Dan ini, menjadi hal yang membuat jemari jempolku untuk mengetik seumbar kata yang ku rangkai menjadi susunan paragraf. (Edho)